TRANSISI ENERGI DAN SURPLUS DAYA LISTRIK
TRANSISI ENERGI DAN SURPLUS DAYA LISTRIK
Eko Sulistyo
Hari Jadi Ke-76 Perusahaan Listrik Negara tahun ini ditandai dua peristiwa penting: terselenggaranya Pekan Olah Raga Nasional XX Papua, dan terbitnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030.
Dalam PON XX di Papua, PLN memberikan kontribusi dalam menyediakan listrik yang andal. Terutama saat upacara pembukaan, PLN menyiapkan sistem “zero down time area” atau layanan listrik tanpa kedip di area tertentu. Sistem kelistrikan tanpa kedip ini, pernah sukses diterapkan di Jakarta dan Palembang pada Asian Games 2018 lalu.
Untuk memastikan keandalan listrik selama PON XX Papua, PLN telah meningkatkan kompetensi petugasnya pada empat venue pertandingan di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Timika dan Merauke. Kesuksesan PON XX Papua memberikan kebanggaan tersendiri mengingat masih ada wilayah di Papua belum teraliri listrik.
Peristiwa penting kedua adalah disahkannya RUPTL 2021-2030 sebagai pedoman penyediaan tenaga listrik untuk PLN oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021. Dalam RUPTL ini, komposisi energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit sebesar 51,6 persen, lebih besar dari energi fosil sebesar 48,4 persen. Wajar jika muncul narasi “green” atau “greener” pada RUPTL PLN 2021-2030.
Transisi Energi ke EBT
Upaya memperbesar pembangkit EBT dalam RUPTL adalah konsistensi Indonesia untuk memenuhi Paris Agreement 2015, dan berperan aktif mengurangi emisi karbon. Di tengah ekonomi global yang bergerak menjauh dari batubara untuk menekan emisi karbon, PLN telah menyusun roadmap menuju netral karbon 2060, yang menargetkan “phase out” batubara diganti EBT pada 2056.
Diproyeksikan mulai 2028, pembangkit EBT akan mengalami peningkatan besar-besaran seiring kemajuan teknologi baterai yang makin murah. Kemudian pembangkit EBT akan mengalami kenaikan secara eksponensial mulai 2040, dan sudah mendominasi total pembangkit pada 2045. Dekade berikutnya, seluruh pembangkit listrik di Indonesia berasal dari EBT.
Secara bertahap, mulai tahun ini sampai 2025, PLN akan mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) dengan pembangkit EBT baseload sebesar 1,1 gigawatt (GW).
Dilanjutkan pada 2030, PLN akan memensiunkan PLTU Subcritical Tahap Pertama sebesar 1 GW, dan Tahap Kedua pada 2035 memensiunkan PLTU Subcritical sebesar 9 GW. Pada Tahap Ketiga 2040, retirement PLTU Supercritical 10 GW, dan pada tahap terakhir 2045-2056, PLTU Ultra Supercritical sebesar 25 GW akan pensiun.
Skenario ini didasarkan pada “market size utility” di 2060 sebesar 1.800 tera watt hour (TWh). Luncuran dari Proyek 35 GW yang dirancang pada 2015 yang masih didominasi fossil fuel sebesar 120 TWh atau 21 GW. Dengan produksi energi nasional per hari ini sebesar 300 TWh, maka diproyeksikan akan ada gap 1.380 TWh atau sekitar 230 GW, yang akan diisi pembangkit EBT.
Pemenuhan target energi bersih oleh PLN yang bersumber dari EBT adalah realistis. Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar, yakni mencapai 417,8 GW. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, potensi tersebut berasal dari arus laut samudera sebesar 17.9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW.
Pilihan transisi secara bertahap oleh PLN, selain didasarkan pada inovasi teknologi, juga faktor investasi dan kepentingan pembangunan nasional. Transisi yang cepat dari tenaga termal yang dominan ke EBT, tidak hanya dapat mengancam ketahanan energi nasional, tapi juga berdampak pada stabilitas ekonomi. Ini jelas bukan perkara mudah bagi PLN, apalagi kapasitas pembangkit listrik termal masih akan dominan sampai 2030.
Krisis listrik dan energi yang melanda sejumlah negara akhir-akhir ini, juga menjadi pelajaran dalam mengelola transisi energi secara berkelanjutan. Transisi energi kelistrikan harus dikelola menjadi bagian kemandirian dan ketahanan energi. Sekaligus harus dioptimalkan untuk pembangunan ekonomi, penciptaan nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja.
Surplus Daya Listrik
Selain transisi ke EBT dan pencapaian “net zero emission”, tantangan PLN saat ini adalah mengatasi “over capacity”. Hal ini disebabkan karena tidak terjadinya keseimbangan antara demand dan supply, telah menyulitkan PLN untuk mendapatkan margin keuntungan yang wajar.
Situasi surplus daya listrik ini telah menjadi salah satu yang memperlambat akselerasi EBT intermittent seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan PLTB (angin) dalam sistem kelistrikan nasional.
Surplus daya ini juga sangat berpengaruh terhadap arus kas perusahaan setrum negara, mengingat kontrak jual beli tenaga listrik dengan produsen swasta (IPP) melalui skema take or pay. Artinya, PLN diwajibkan menyerap listrik yang dihasilkan IPP dalam jumlah tertentu dari kapasitas pembangkit.
Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 juga menyebabkan turunnya konsumsi listrik, dan menambah surplus produksi. Meski pada kuartal ketiga tahun ini, tanda pemulihan ekonomi sudah terasa dengan kenaikkan konsumsi listrik kian membaik. Bahkan pada 14 Oktober lalu, dalam catatan PLN, beban puncak listrik Jawa Bali telah mencetak rekor tertinggi sejak 2019.
Untuk mengatasi kondisi kelebihan pasokan ini, strategi PLN adalah meningkatkan demand listrik. Agar pertumbuhan listrik dapat diserap oleh PLN dengan meningkatkan permintaan listrik baik bagi pengguna baru mapun lama.
Diantaranya berperan aktif membangun ekosistem kendaraan listrik, menangkap peluang “captive power”, dan mendorong pertumbuhan kelistrikan untuk sektor pertanian, perikanan, perkebunan, melalui program Electrifying Agriculture.
Pembatasan captive power yang dapat dialihkan ke PLN akan meningkatkan penjualan listrik.
Captive power dapat didefinisikan sebagai pasokan listrik yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan yang digunakan sendiri. Perusahaan dapat merujuk pada perusahaan tunggal, atau kawasan industri yang menghasilkan listrik untuk dijual kepada penyewa.
Tentu masih banyak terobosan PLN untuk meningkatkan kinerja perusahaan menjawab tantangan disrupsi di sektor energi. Melalui empat pilar inovasi, Green, Lean, Innovative dan Customer Focused, PLN berupaya meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan, mengadakan listrik handal dan efisien, perluasan sumber pendapatan baru, dan menjadikan PLN pilihan nomor satu pelanggan. Kemudian sesuai mandat PLN menerangi negeri, adalah mencapai target elekrifikasi 100 persen pada 2022.
——-
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).